PRIBUMINEWS — Delapan perusahaan bergerak di sektor pertambangan emas dan batubara terindikasi menggarap sedikitnya 62.521 ribu hektare kawasan hutan lindung di Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Demikian diinformasikan aktivis Gerakan Antikorupsi (Geerak). “Temuan ini akan kami rekomendasikan ke Pemerintah Aceh, agar izin perusahaan yang masih beroperasi di kawasan hutan lindung dicabut. Karena, ini bertentangan dengan undang-undang,” kata Koordinator Gerak Aceh, Askhalani, di Meulaboh, Rabu (22/10).
Setelah beraudiensi dengan Bupati Aceh Barat H T Alaidinsyah bersama Forum Bersama Tambang Aceh Barat, Askhalani mengatakan, data tersebut adalah lampiran Surat Nomor:S.700/VII-PKH/2014 Tanggal 10 Juli 2014 dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Seperti tertera dalam lampiran surat tersebut, ada delapan perusahaan bergerak di sektor pertambangan masih aktif beroperasi di kawasan hutan lindung di kawasan Aceh Barat, dengan berstatus perizinan eksplorasi emas primer dan emas sekunder serta sedikit batubara.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, tambah Askhlani, melarang setiap perusahaan beroperasi di kawasan hutan lindung. Karena itu, pemerintah pusat harus bersikap tegas mendorong Pemerintah Aceh mencabut izin mereka. “Hutan lindung tidak boleh dikonservasi. Kalau hutan lindung saja berani digarap, apalagi lagi hutan lain. Ini juga sedang kami lakukan advokasi melalui Forum Bersama Pertambangan Aceh Barat,” ujarnya.
Menurut Askhlani, lampiran surat yang ditandatanggani Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan Dr Ir Bambang Soepijanto, MM tersebut berbeda dengan data yang disampaikan Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, yang tidak menyebutkan sejumlah perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan lindung.
Munculnya kejahatan tersebut, menurut Gerak Aceh, akibat lemahnya pengawasan pemerintah daerah saat pengurusan izin. Saat ada perusahaan mengusulkan area hak guna usaha (HGU) harusnya dilakukan cek, apakah masuk dalam kawasan hutan lindung.
Faktor lain: adanya indikasi praktik nepotisme dan praktik suap dalam proses pemberian izin. “Untuk di daerah ini, kami meminta pemda segera melakukan evaluasi dan review izin terhadap seluruh perusahaan pertambangan, karena ini juga berkaitan kontribusi mereka terhadap daerah dan pajak negara,” ujar Askhlani.
Ia pun menyebutkan nama-nama perusahaan yang terindikasi berada pada kawasan hutan lindung di Provinsi Aceh dan Aceh Barat khususnya, yakni PT Aceh Kecana Mandiri mengarap 10.290,74 hektare (emas primer); PT Amar Makmur Mandirin 737,44 hektare (emas sekunder); PT Bara Adhi Pratama 109,02 hektare (batubara); PT Lestari Kencana Mandiri 9.948,10 hektare (emas primer); PT Mineral Kencana Mandiri 9.948,44 hektare (emas primer); PT Mulia Kencana Mandiri 9.949,08 hektare (emas primer); PT Sarana Persada Raya 2.414 hektare (emas sekunder), dan; PT Woyla Aceh Minerals (kontrak karya) 21.514,77 hektare (emas primer).
“Data-data yang kami peroleh dari Kementerian Kehutanan sangat berbeda dengan data yang diberikan Distamben Aceh. Karena itu, kita meminta ini jangan ditutup-tutupi jika kita berkeinginan menjaga hutan Aceh,” kata Askhalani. | ASN/DJE/PRBN