PRIBUMINEWS – Kepala Polri Jenderal Sutarman melantik dan mengambil sumpah Brigadir Jenderal Polisi Paulus Waterpau untuk menjadi Kepala Kepolisian Daerah Papua Barat, Jumat (9/1). Setelah pelantikan itu, Sutarman sempat mengakui, pihaknya mengalami kesulitan untuk mengungkap kasus pertikaian antara warga dan aparat keamanan di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua, 8 Desember 2014 lalu, yang menewaskan lima warga sipil.
“Polisi mengalami kesulitan untuk mengungkap kasus tersebut karena para korban yang jasadnya dimakamkan dalam satu liang tidak diizinkan untuk diotopsi,” ujar Sutarman. Dengan begitu, tambahnya, penyidik tidak bisa melakukan otopsi dan penyebab para korban tewas tidak dapat diketahui secara pasti.
Kalau diizinkan, katanya, polisi dapat mengetahui penyebab kematian keempat warga yang tewas saat insiden itu terjadi.
Pernyataan Sutarman itu membingungkan, karena terasa kontradiktif dengan kemauan banyak pihak di Papua. Lewat siaran pers-nya pada Kamis siang kemarin (8/1), misalnya, aktivis #PapuaItuKita meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM), dengan basis Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, bukan justru membentuk tim penyelidikan biasa dengan basis Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Komnas HAM harus mendengarkan tuntutan unsur-unsur masyarakat, baik di tingkat nasional mapun di Papua, yang menghendaki pembentukan KPP-HAM Paniai, bukan justru membentuk tim penyelidik seperti hasil sidang paripurna tadi malam,” kata Zelly Ariane, aktivis #PapuaItuKita.
Zelly mengungkapkan, para tokoh agama, budayawan, akademisi, aktivis hak asasi, juga masyarakat dari Koalisi Masyarakat Sipil Papua, Dewan Adat Daerah Paniai, dan Sinode Kingmi Paniai telah jelas-jelas menghendaki segera dibentuknya KPP-HAM. “Dalam pleno 7 Januari 2015, Komnas HAM telah merekomendasikan pembentukan tim penyelidikan berdasarkan Undang-Undang HAM 39/1999, penyelidikan berdasarkan undang-undang tersebut adalah penyelidikan pemeriksaan dalam rangka pemantauan saja. Sementara, yang kami butuhkan adalah penyelidikan pro-justisia yang bertujuan menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana pelanggaran hak asasi berat yang berat,” ujar Zelly.
Padahal, lanjut Zelly, Komnas HAM sudah mendapatkan kesimpulan adanya pelanggaran hak asasi dalam kesimpulan sementara yang dikeluarkan pada 22 Desember 2014 lalu. “Sehingga penyelidikan seharusnya bisa meningkat ke pro-justisia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Kedua penyelidikan ini memang penyelidikan terkait pelanggaran hak asas, tapi pelanggaran hak asasi dalam kedua penyelidikan ini memiliki makna yang berbeda,” ungkap Zelly.
Pelanggaran hak asasi dalam penyelidikan projustitia, lanjutnyta, berarti tindak pidana yang punya sanksi pidana; sedangkan dalam penyelidikan pemeriksaan pelanggaran hak asasi berarti pelanggaran prinsip-prinsip hak asasi. “Makanya, kami dengan tegas menolak,” ujarnya.
Memang, Keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM Nomor 01/SP/I/2015 telah memastikan pembentukan tim Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Paniai, dengan melibatkan para tokoh dari luar Komnas HAM. Tim yang diketuai anggota Komnas HAM, Maneger Nasution, itu bertugas mengungkap fakta dan peristiwa pelanggaran hak asasi di Paniai, dengan waktu kerja selama tiga bulan, sejak diputuskan pada 7 Januari 2015 lalu.
Anggota tim penyelidikan dari unsur Komnas HAM adalah Hafid Abbas (Ketua Komnas HAM), Natalius Pigai (anggota), Siti Noor Laila (anggota), dan Syane Indriyana (wakil ketua). Sidang juga merekomendasikan tokoh dari unsur masyarakat, agama, TNI/Polri, aktivis hak asasi, termasuk anggota Komnas HAM Perempuan, untuk juga terlibat langsung.
Dari unsur tokoh masyarakat ada Neles Tebay (Penasihat Komnas HAM, juga Koordinator Jaringan Damai Papua), Pendeta Dr Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi Papua), Farid Hussein (mantan Utusan Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk Papua), Sylvana Apituley (anggota Komnas Perempuan), dan Profesor Agus Purwadianto (dosen Universitas Indonesia). Dari unsur aparat keamanan ada Agus Widjojo (mantan Kepala Staf Teritorial TNI), Letjen TNI (Purn) M Noer Mu’is (mantan Pangdam Bukit Barisan), dan Irjen Polisi Bagus Eko Danto (mantan Kepala Kepolisian Daerah Papua).
Menurut Ketua Tim Penyelidikan Maneger Nasution, sidang paripurna memutuskan untuk membentuk tim penyelidikan berdasarkan temuan awal di lapangan saat dilangsungkan investigasi. “Kami telah menemukan indikasi adanya dugaan pelanggaran hak asasi berat, sehingga perlu dibentuk tim untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut,” ujar Maneger Nasution. (Ron/Andreas/Pur)